RSS

“Fenomena Kawin Siri, dalam kecamata hukum dan sosial kemasyarakatan”

Ada fenomena yang dianggap baru terjadi dalam masyarakat kta, yaitu pelaksanaan kawin sirih. Tulisan ini muncul sebagai tanggapan dan kritik terhadap tulisan saudari Kinkin Puput Kinanti pada harian ini (Surya) pada tanggal 18 Maret 2009 yang berjudul “Kawin sirih dihukum?”.

Pada artikel tersebut, saudari Kingkin Puput Kinanti mencoba menggambarkan tentang fenomena kawin siri yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Namun, sangat disayangkan pendefinisan “kawin siri” itu apa tidak dijelaskan dan digambarkan dengan detail. Sehingga dengan demikian bisa menimbulkan kesalahpahaman dikalangan pembaca. Lebh-lebih lagi ketika saudari Puput menegaskan dalam tulisannya tersebut bahwa kawin siri tidak disukai oleh nabi. Padahal jika kita ingin menganalisa fenomena kawin siri dari sudut pandang sejarah dan agama, khususnya agama Islam. Maka tidak akan kita temukan bahwa Nabi Muhammad mengatakan tidak menyukai praktek kawin yang sederhana (jika kita mempersepsikan kawin siri sama dengan perkawinan yang bersifat sederhana dan tidak berlebih-lebihan). Malahan Rasulullah pernah menegaskan jika perkawinan yang baik adalah perkawinan yang dilakukan dengan sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Juga kalau kita menganalisa fenomena kawin siri yang marak terjadi dimasyarakat, bahwa kawin siri adalah perkawinan yang tidak disaksikan oleh orang banyak dan tidak dilakukan di depan Pegawai Pencatat Nikah atau dicatat di KUA.

Juga pada penjelasan Mbak Puput tentang syarat sah nikah. Dimana Mbak Puput menuliskan bahwa syarat sah sebuah perkawinan ialah adanya kedua mempelai, dua orang saksi, wali nikah, ijab dan Kabul. Perlu ditekankan dengan jelas di sini bahwa hal-hal yang telah disebutkan oleh mbak Puput bukanlah syarat sah perkawinan melainkan rukun perkawinan. Hal ini dapat dilihat jelas pada Inpres No.1 Tahun 1991 Tentan Kompilasi Hukum Islam pada Buku I Pasal 14. Perlu diketahui bahwa rukun adalah suatu hal yang jika ditinggalkan akan membuat perkawinan tersebut tidak sah atau bisa dikatakan bahwa tidak pernah ada perkawinan. Sedangkan syarat perkawinan adalah suatu hal yang jika ditinggalkan tidak akan membatalkan perkawinan tersebut. Dalam hukum positif kita, sangat jelas ditegaskan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 Ayat 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974).

Fenomena kawin siri jika kita coba menganalisanya dari sudut pandang ilmu sosial. Maka kita akan dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa ia merupakan suatu tindakan sosial dari individu-individu (Weber, 1921/1968). Tindakan sosial terhadap apa? Yaitu terhadap kesadaran kolektif masyarakat yakni jika dua pasang sejoli khendak menikah, mereka harus menyelesaikan kuliah dulu, harus kerja dulu, dan masih banyak lagi berbagai simbol yang muncul di tengah-tengah masyarakat kita dan telah diterima menjadi sebuah kesadaran kolektif (Durkheim, 1893/1964: 79-80). Padahal jika kita analisis lebih mendalam lagi, maka kita akan melihat tingginya beban psikologis yang dirasakan oleh individu-individu tadi.

Beban psikologis mereka bisa berupa keinginan yang kuat untuk melakukan suatu hubungan layaknya suami-isteri kepada lawan jenisnya. Nasihat orang tua pada umumnya kepada anaknya hanyalah meminta untuk menahan. Tapi menurut hemat penulis, apapun yang menjadi petuah orang tua tersebut tidak akan mampu melawan gejolak yang merupakan fitrah ilahiyah dalam anak tersebut. Apa lagi bertambah banyaknya pengaruh dari lingkungan sekitar yang membuat fitrah tersebut semakin membara. Pengaruh tersebut utamanya adalah televisi, yang mana kebanyakan chanel yang ada menampilkan acara-acara yang mengekspose perempuan dengan berbagai macam pakaiannya yang aduhai. Belum lagi pengaruh dari gaya pakaian perempuan-perempuan usia remaja bahkan dewasa yang semakin mengikuti budaya barat, dan kehilangan budaya sesungguhnya. Yaitu kebudayaan asli Indonesia, yang mana sebagian besar dipengaruhi oleh Agama Islam.

Akhirnya, jika gejolak tersebut telah begitu membaranya. Maka keinginan untuk berzina pun akan menjadi pilihan mereka. Inilah realita yang bisa kita lihat sekarang, khususnya pada kaum muda. Mereka juga tidak bisa disalahkan secara langsung begitu saja karena keadaan sosial yang memaksa mereka untuk melakukan hal tersebut.

Setelah melakukan perzinahan tersebut, siperempuan pun hamil. Kemudian orang tua masing-masing pun dibuat pusing bukan kepayan. Jalan kawin siri pun akhirnya diambil sebagai pelindung aib besar anak-anaknya. Disinilah muncul persepsi baru tentang kawin siri. Bahwa kawin siri adalah perkawinan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena telah terjadinya sesuatu hal seperti disebutkan di atas.

Inilah juga yang memunculkan ide untuk mempidanakan pelaku kawin siri dan yang mengawinkannya. Menurut hemat penulis, pemidanaan yang dirancang dalam RUU Materiil Peradilan Agama bahwa pelaku pernikahan siri dan yang menikahkannya akan dikenakan pidana kurungan maksimal 3 bulan dan/atau denda Rp.5.000.000 belum begitu dibutuhkan saat ini. Apalagi akan bertentangan dengan Pasal 28 Ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu.

Dipenghujung tulisan ini, penulis berharap para orang tua mampu memahami keinginan menikah anak-anaknya yang sudah menginjak usia layak untuk menikah. Hal ini untuk mengindari dampak negatif dari pencegahan terhadap keinginan mereka untuk menikah seperti keinginan untuk melakukan hubungan suami isteri dan sebagainya. Sehingga dengan pemahaman yang baik dari orang tua juga diharapkan perkawinan yang akan dilaksanakan tidak lagi dengan konsep kawin siri. Artinya, ia telah didaftar telah menikah secara hukum positif. Sehingga hak-hak dari mereka terutama perempuan dapat terpenuhi sebagaimana mestinya. Hak-hak yang dimaksud seperti hak waris, hak atas harta bawaan, hak atas harta bersama, hak pengasuhan anak, dan hak mengajukan gugatan cerai, hak menuntut suami yang melakukan perceraian, dan sebagainya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mengusik Alamku

Jakarta, 29 Desember 2010
Nasrullah

Senyum khasmu itu hadir sekejap di hadapanku
Berlalu begitu saja tanpa makna namun penuh arti buatku
Entah apa yang terjadi
Tanyaku dalam hati

Berikutnya kucoba untuk mencari jawabnya
Tentang duri pengusik alamku
Harapku agar tenang jiwa lemah ini

Kecewa pun datang, ketika tahu engkau memilihnya
Apalah arti penyesalan ini, mungkin sikapku selama ini hanya tafsir langkah tak bermakna

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Bentuk-Bentuk Perlindungan terhadap Anak Korban Perdagangan Orang (Trafficking)

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 butir 1 UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak). Anak memiliki hak khusus menurut hukum internasional dan hukum Indonesia dan Pemerintah dalam hal ini memiliki kewajiban untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi
Perdagangan orang (Trafficking) adalah tindakan merekrut, mengirim, memindahkan, menampung atau menerima orang untuk tujuan eksploitasi baik di dalam maupun di luar negeri dengan cara kekerasan ataupun tidak. Karena anak dianggap belum cakap melakukan perbuatan hukum maka meskipun anak tersebut bersedia atau menerima kondisi eksploitasi, namun hak-hak mereka harus tetap dilindungi dan apabila terjadi pelanggaran maka hal tersebut masuk dalam kategori perdagangan manusia.
Di Indonesia, hal tersebut di atas sering terjadi pada saat anak direkrut dari desanya. Kemudian dipindahkan ke daerah lain baik dalam maupun di luar negeri, dijual oleh perekrut atau agen untuk tujuan mendapatkan keuntungan, dan mereka dipaksa untuk bekerja dan dieksploitasi oleh majikan atau pembeli. Selain dieksploitasi anak-anak dan perempuan tersebut juga merasakan penderitaan dan keterasingan akibat adanya perbedaan bahasa, budaya dan agama di lingkungan barunya. Ilustrasi di atas adalah salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak dalam hal ini perdagangan manusia. Anak dijadikan objek eksploitasi yang memberikan keuntungan bagi pelaku kekerasan, namun menimbulkan banyak penderitaan bagi korban.
Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu. Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.

Dari tindakan eksploitasi yang terjadi, muncullah permasalahan yang menarik untuk dikaji. Yaitu bagaimanakah bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap korban kejahatan secara umum yang berlaku selama ini dan bagaimanakah bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban perdagangan orang secara khusus. Sehingga dengan diketahuinya masalah tersebut dan dilakukan analisa atau kajian yang mendalam. Maka akan diketahui atau didapat jawaban mengenai bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap korban kejahatan secara umum dan bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban perdagangan orang (trafficking).
Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap korban kejahatan secara umum?
2. Bagaimanakah bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban perdagangan orang (trafficking)?
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap korban kejahatan secara umum.
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban pedagangan orang (trafficking).

BAB II
PEMBAHASAN
1. Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum terhadap Korban Kejahatan Secara Umum
Setiap terjadi kejahatan, mulai dari yang ringan sampai yang berat. Pasti akan memunculkan korban yang mana pada korban tersebut akan timbul kerugian yang bersifat materiil maupun immaterial. Penderitaan yang dialami oleh korban dan keluarganya tentu tidak akan berakhir dengan ditangkap dan diadilinya pelaku kejahatan, terlebih apabila penderitaan itu berakibat korban menderita cacat seumur hidup atau meninggal dunia.
Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat diberikan dalam berbagai cara, bergantung pada penderitaan/kerugian yang diderita oleh korban. Sebagai contoh, untuk kerugian yang sifatnya mental/psikis tentunya bentuk ganti rugi dalam bentuk materi/ uang tidaklah memadai apabila tidak disertai dengan upaya pemulihan ental korban. Sebaliknya, apabila korban hanya menderita kerugian secara materiil (seperti harta bendanya hilang) pelayanan yang sifatnya psikis terkesan terlalu berlebihan.
Oleh karena itu, dengan mengacu pada beberapa kejahatan yang pernah terjadi, ada beberapa bentuk perlindungan terhadap kejahatan yang lazim diberikan, antara lain sebagai berikut:
1. Pemberian Restitusi dan Kompensasi
Penjelasan Pasal 35 Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2000 memberikan pengertian kompensasi, yaitu ganti kerugian yang diberikan oleh Negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan restitusi, yaitu: ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi dapat berupa:
a. Pengembalian harta milik;
b. Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan;atau
c. Penggantian biaya untuk tindakan tertentu;
Pengertian kompensasi dalam penjelasan Pasal 35 dari Undang-Undang No.26 Tahun 2000 memilki kemiripan dengan pengertian dalam Bacic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power, yang menyataan: when compensation is not fully available from the offender or other source, states should endeavour to provide financial compensation.
Pengertian Restitusi dan Kompensasi merupakan yang istilah dalam penggunaannya sering dapat dipertukarkan (interchangeable). Namun, menurut Stephen Schafer, perbedaan antara kedua istilah itu adalah kompensasi lebih bersifat keperdataan. Kompensasi timbul dari permintaan korban, dan dibayar oleh masyarakat atau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau negera (the responsible of society), sedangkan restitusi lebih bersifat pidana, yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana (the responsibility of the offender).
2. Konseling
Pada umumnya perlindungan ini diberkan kepada korban akibat munculnya dampak negative yang sifatnya psikis dari suatu tindak pidana. Pemberian bantuan dalam bentuk konseling sangat cocok diberikan kepada korban kejahatan yang menyisakan trauma berkepanjangan, seperti pada kasus-kasus menyangkut kesusilaan.
3. Pelayanan/Bantuan Medis
Diberikan kepada korban yang menderita secara medis akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan tertulis (visum atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti). Keterangan medis ini diperlukan terutama apabila korban hendak melaporkan kejahatan yang menimpanya ke aparat untuk kepolisian untuk ditindaklanjutinya.

4. Bantuan Hukum
Bantuan hukum merupakan suatu bentuk pendampingan terhadap korban kejahatan. Di indonesia bantuan ini bnyak diberikan oleh Lembaga Swdaya Masyarakat (LSM), misalnya pada kasus Trisakti 1998, kasus Tanjung Priok, dan sebagainya. Penggunaan bantuan hukum yang disediakan oleh pemerintah jarang dipergunakan oleh korban kejahatan karena masih banyak masyarakat yang meragukan kredibilitas bantuan hukum yang disediakan oleh Pemerintah.
5. Pemberian Informasi
Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami oleh korban, perberian informasi ini memegang yang sangat penting dalam upaya menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat kepolisian karena melalui informasi inilah diharpkan fungsi kontrol masyarakat terhadap kinerja kepolisian dapat berjalan dengan baik.
Perlindungan saksi dan korban yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang RI No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yaitu:
a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
c. memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. mendapat penerjemah;
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i. mendapat identitas baru;
j. mendapatkan tempat kediaman baru;
k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
l. mendapat nasihat hukum; dan/atau
m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.

2. Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum Anak Korban Trafficking.
Anak dalam peraturan perundang-undangan memiliki hak-hak khusus termasuk untuk mendapat perlindungan dalam kedudukannya sebagai korban tindak pidana. Dalam Pasal 59 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak jelas disebutkan tentang hak mereka untuk mendapatkan perlindungan khusus. Pasal tersebut berbunyi: “Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran”. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 64 ayat (1) dan ayat (3) yang berbunyi: “(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. (3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :
1. upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
2. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;
3. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan
4. pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

Disamping Untuk hak-hak yang diperoleh di atas. Dalam Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Anak korban tindak pidana perdagangan orang mendapatkan perlindungan khusus berupa pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. Pasal 68 ayat (1) tersebut berbunyi: “Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.
Untuk anak korban perdagangan orang juga berlaku perlindungan sebagaimana yang diatur dalam UU RI No. 36 Tahun 2006 Perlindungan Saksi dan Korban. Hal ini sesuai dengan amanah Pasal 43 Undang-Undang RI No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang berbunyi: “Ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam perkara tindak pidana perdagangan orang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”.
Dalam hal Bersaksi di pengadilan adalah hal yang sulit dan menakutkan bagi korban perdagangan manusia tetapi akan lebih sulit dan menakutkan bagi anak-anak, Harus ada ketentuan khusus yang wajib dipertimbangkan dan di implementasikan untuk memastikan bahwa anak-anak tersebut terlindungi saat mereka bersaksi di pengadilan. Berkaitan dengan anak sebagai saksi korban dalam proses hukum dalam KUHAP ada beberapa pasal yang berkaitan dengan proses hukum di pengadilan misalnya:
Anak memiliki hak untuk diperiksa di pengadilan dalam ruang sidang tertutup untuk umum ( KUHAP 153 ayat (3) dan Undang-undang No 3 tahun 1997 pasal 57 ayat (1)

Anak memiliki hak untuk bersaksi tanpa disumpah (KUHAP 171a)
Selain hal tersebut diatas berkaitan dengan kebutuhan yang diperlukan oleh korban setelah menjadi saksi dalam proses hukum korban juga membutuhkan akan rasa aman bagi dirinya seperti shelter ,kebutuhan akan asertivitas dan self esteme. Selain itu juga

BAB III
KESIMPULAN
Beberapa bentuk perlindungan terhadap kejahatan ya lazim diberikan antara lain:
6. Pemberian Restitusi dan Kompensasi
7. Konseling
8. Pelayanan/Bantuan Medis
9. Bantuan Hukum
10. Pemberian Informasi
Perlindungan saksi dan korban yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang RI No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yaitu:
n. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
o. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
p. memberikan keterangan tanpa tekanan;
q. mendapat penerjemah;
r. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
s. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
t. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
u. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
v. mendapat identitas baru;
w. mendapatkan tempat kediaman baru;
x. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
y. mendapat nasihat hukum; dan/atau
z. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.

Bentuk-bentuk perlindungan terhadap anak korban perdagangan orang yaitu:
1. Upaya pengawasan;
2. upaya perlindungan;
3. upaya pencegahan;
4. upaya perawatan;
5. dan upaya rehabilitasi oleh perintah dan masyarakat.
(Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak )
Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana:
1. upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
2. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;
3. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan
4. pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
(Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak)

Dalam hal Bersaksi di pengadilan;
Anak memiliki hak untuk diperiksa di pengadilan dalam ruang sidang tertutup untuk umum ( KUHAP 153 ayat (3) dan Undang-undang No 3 tahun 1997 pasal 57 ayat (1)
Anak memiliki hak untuk bersaksi tanpa disumpah (KUHAP 171a)


DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Syarat-Syarat Sah Putusan Pengadilan

Dalam KUHAP
Pasal 195
Semua putusan pengadilan. hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum.
Pasal 196
(1) Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain.
(2) Dalam hal terdapat Iebih dari seorang terdakwa dalam satu perkara, putusan dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada.
(3) Segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan, bahwa hakim ketua sidang wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang segala apa yang menjadi haknya, yaitu:
a. hak segera menerima atau. segera menolak putusan;
b. hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini;
c. hak minta menangguhkan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan;
d. hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini, dalam hal Ia menolak putusan;
e. hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini.
Pasal 197
(1)Surat putusan pemidanaan memuat:
a.kepala putusan yang dituliskan berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa,
e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana Ietaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l.hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;
(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan I pasal inii mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang ini.

Putusan Pengadilan harus memenuhi semua syarat yang ada dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP karena jika tidak maka putusan tersebut batal demi hukum (Pasal 197 ayat (2) KUHAP)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Perjalanan ke Musywil IPM Jatim

Catatanq:

Hari itu tgl 24 Desember 2010, tepatnya pukul 06.00 sore kami berangkat dgn angkot mnuju stasiun meninggalkan mesjid Ar-Fachruddin tempat kami janjian untuk ngumpul. Aku, Daus, Syamsul, Ririn berangkat dengan tergesa-gesa takut ketinggalan kereta api yg mnuju Sidoarjo.

Setibanya di stasiun kota Malang, ternyata ada penundaan pemberangkatan kereta api, kereta api yang akan kami gunakan ternyata diberangkatkan pada jam 19.30. lama betul kami harus menunggu, sehingga kita juga memanfaatkan waktu yang ada untuk sholat, sehingga harus sholat di mushollah stasiun.

kereta yang kami gunakan itu kereta ekonomi, toiletnya bau, pncahayaan di gerbongnya kurang krn banyaknya lampu yg telah rusak. yah, harus sabar ungkapku.

sesampainya di sidoarjo, kami dijemput panitia lokal, sungguh sangat istimewa, kita dijemput oleh Panlok. waktun itu kami tiba pada pukul 22.30 malam, sehingga terasa sangat lelah dan khendak istirahat.

Daus, syamsul, Ririn tak ada satupun yang menjadi peserta di acara tgl 24-26 tersebut. Tetapi smangat mereka begitu luar biasa untuk berpartisipasi dlm acara trsebut, walaupun hanya sekedar peninjau. Hanya sekedar melihat proses bermusywil saudara-saudara mereka di IPM Jatim.


Akhirnya, Ahmad Rosyidi sahabat dekatku pun terpilih menjadi Ketua Umum untuk menanhkodai IPM Jatim period 2010-2012. Semangat buatmu!!! good luck!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MEMPEKERJAKAN ANAK DALAM FILM

By Nasrullah

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan
Dewasa ini, industri film Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Ada puluhan film yang dibuat oleh para produser dan sutradara tiap tahunnya. Baik itu berupa film layar lebar, film televisi, maupun sinetron (film drama). Namun, hal yang sangat disayangkan adalah ketidak sinergian antara perkembangan industri film tadi dengan tanggung jawab moral para pengusaha industri film.
Sangat banyak tanggung jawab moral yang dilanggar oleh mereka. Diantaranya adalah melibatkan anak dibawah umur dalam kegiatan indusri mereka. Kebanyak anak tersebut memerangkan peran utama sehingga menguras tenaga anak-anak tersebut, juga waktu bermain mereka. Belum lagi adegan-adegan yang mereka perankan, lebih banyak tidak pada porsi seusia mereka “peran yang seharusnya dimainkan oleh orang dewasa”.
Selain tanggung jawab moral yang dilanggar oleh mereka. Juga terhadap ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan terhadap anak. Namun, pemerintah sebagai pelindung anak bangsanya belum mampu juga bertindak secara optimal memberikan sanksi yang tegas kepada pengusaha industri film yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan.
Olehnya itu, sangat dibutuhkan perangkat perlindungan yang efektif kepada anak-anak tersebut. Agar tidak dieksploitasi oleh para pengusaha industri film tersebut. Perangkat perlindungan yang efetif tersebut adalah berupa perangkat hukum yang dapat menjadi acuan dalam memberikan sanksi kepada para pelaku industri film yang melakukan eksploitasi terhadap anak.

1.2 Permasalahan
1. Bagaimana tinjauan hukum positif terhadap perbuatan pengusaha yang mempekerjakan anak sebagai aktor dalam film?
2. Bagaimana tinjauan hukum positif terhadap perbuatan orang tua yang mempekerjakan anaknya sebagai aktor dalam film?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui tinjauan hukum positif terhadap perbuatan pengusaha yang mempekerjakan anak sebagai aktor dalam film.
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum positif terhadap perbuatan orang tua yang mempekerjakan anaknya sebagai aktor dalam film.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Landasan Yuridis
Pasal 28B Ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi: Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 28C Ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi: Setiap orang berhak mengembangkan dirinya melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Pasal 1 Ayat 12 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Hak anak adalah bagian dari has asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara.
Pasal 9 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
Pasal 16 Ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
Pasal 22 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Pasal 23 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak.
Pasal 23 Ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.
Pasal 26 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi:
Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara,mendidik, dan melindungi anak;
b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Pasal 77 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi:
a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya.
b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial.
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda palimg banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 26 Ayat 26 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja yang berbunyi: Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 68 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja yang berbunyi: Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.
Pasal 69 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja yang berbunyi:
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.



Pasal 70 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja yang berbunyi:
(1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas) tahun.
(3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat:
a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Pasal 71 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja yang berbunyi:
(1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat:
a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah.
2.2 Tinjauan Hukum Positif terhadap Perbuatan Pengusaha yang Mempekerjakan Anak sebagai Aktor dalam Film
Pengusaha industri film selama ini telah melakukan eksploitasi terhadap anak yang dipekerjakan sebagai aktor dalam film. Contoh eksploitasi yang dilakukan adalah mempekerjakan anak di bawah umur 13 tahun, seperti dalam film yang berjudul ”Cerita SMA” yang ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi swasta di Indonsesia. Hal tersebut sungguh telah melanggar ketentuan dalam Pasal 68 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja yang berbunyi: Pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Juga pada Pasal 69 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja yang berbunyi: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Dalam ketentuan perundang-undangan tersebut jelas bahwa anak di bawah umur 13 tahun tidak boleh dipekerjakan oleh pengusaha. Bahkan anak yang berumur antara 13 tahun sampai dengan 15 tahun pun hanya dibolehkan bekerja pada pekerjaan-pekerjaan ringan saja, bahkan waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam, dan tidak boleh mengganggu waktu sekolah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Pasal 69 Ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja yang berbunyi: Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Perilaku pengusaha industri film sungguh telah melanggar hak asasi anak untuk tumbuh, dan berkembang, serta memenuhi kebutuhan dasarnya. Contoh kebutuhan dasar anak adalah bermain dan bergembira bersama-sama dengan teman sebayanya. Mereka juga berhak atas pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia (dapat dilihat lebih jelasnya pada Pasal 28J Ayat 1 UUD 1945).
Hak atas pendidikan anak yang dilanggar oleh pengusaha industri film dan iklan dapat dilihat pada waktu kerja anak yang kebanyakan pada pagi dan siang hari yang secara langsung telah menggangu waktu sekolah (pendidikan) anak tersebut. Perbuatan pengusaha tersebut telah bertentangan dengan Pasal 9 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Juga bertentangan dengan Pasal 28C Ayat 1 UUD 1945 Setiap orang berhak mengembangkan dirinya melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Perbuatan pengusaha industri film yang mempekerjakan anak sehingga anak tersebut telah terasa diambil hak asasi nya, sehingga terasa juga ada diskriminasi terhadap anak. Kemudian timbul akibat-akibat seperti anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosial. Maka pengusaha tersebut dapat dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 77 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
2.3 Tinjauan Hukum Positif Terhadap Perbuatan Orang Tua yang Mempekerjakan Anaknya sebagai Aktor dalam Film
Orang tua selama ini sedikit banyaknya memiliki peran dalam menghadirkan praktek eksploitasi anak dalam industri film. Mereka juga termasuk pelaku yang menyebabkan hak-hak asasi anaknya terjajah. Hak-hak asasi seperti bermain, kelangsungan pendidikan, dan pengembangan minat dan bakatnya (substansi dari Pasal 28C Ayat 1 UUD 1945).



Orang tua memiliki kewajiban-kewajiban terhadap anaknya sesuai dengan apa yang tertuan dalam Pasal 26 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara,mendidik, dan melindungi anak;
b. menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Namun kemudian terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh orang tua anak yang bekerja sebagai aktor dalam industri film dan iklan terhadap Poin a dan b Pasal 26 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak di atas. Orang tua sering melupakan kewajibannya untuk harus lebih mementingkan mengasuh anaknya, juga memelihara, mendidik, dan melindungi anaknya. Termasuk juga pengembangan kemampuan, bakat, dan minat anaknya.
Orang tua anak yang bekerja di dalam industri film sebagai aktor juga dapat dianggap telah melakukan eksploitasi ekonomi terhadap anaknya. Alasannya adalah anak dipekerjakan karena akan dapat memberikan penghasilan yang besar terhadap mereka. Padahal, perbuatan mereka telah melanggar hak anak yang terdapat dalam Pasal 1 Poin b Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual.
Sampai saat ini, masih banyak orang tua yang mempekerjakan anaknya sebagai aktor dalam industri film. Walaupun telah banyak ketentuan perundang-perundangan yang mengatur tentang perlindungan anak dari eksploitasi. Hal ini disebabkan karena ketentuan perundang-perundangan yang telah ada tersebut belum mengatur secara tegas dan memberikan sanksi yang tegas kepada mereka yang melanggar.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Terdapat banyak ketentuan perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap anak yang telah dilanggar oleh para pelaku usaha industri film dan iklan terhadap anak yang bekerja dalam film sebagai aktor. Seperti Pasal 68, Pasal 69 Ayat 1,Pasal 69 dan Ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja. Termasuk juga pada Pasal 28J Ayat 1 UUD 1945.
Begitupun dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap anak yang telah dilanggar oleh orang tua anak yang bekerja dalam film sebagai artis ataupun aktor. Seperti Poin a dan b Pasal 26 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Termasuk juga pada Pasal 28J Ayat 1 UUD 1945, serta Pasal 1 Poin b Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
3.2 Saran
1. Seharusnya pemerintah lebih meningkatkan lagi perlindungan terhadap anak-anak.
2. Sebaiknya orang tua dan pengusaha tidak melakukan eksploitasi terhadap anak-anak karena itu bisa mengganggu pola pikir dan perkembangan anak.
3. Seharusnya ketentuan perundang-undangan mengatur secara tegas dan memberikan sanksi yang tegas pula kepada mereka yang melanggar.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS